Peranan Walisongo dalam Mempengaruhi Budaya Nusantara
Sebelum Walisongo
menyebarkan Islam ke bumi Nusantara, sudah terdapat banyak suku bangsa,
organisasi pemerintah, struktur ekonomi, sosial dan budaya di Nusantara yang
berkembang. Semua itu tidak terlepas dari pengaruh sebelumnya, yaitu kebudayaan
nenek moyang (animisme dan dinamisme), dan Hindu Budha yang berkembang lebih
dulu daripada Islam.
Seperti halnya
kondisi masyarakat daerah pesisir pada waktu itu, bisa dikatakan lebih maju
daripada daerah lainnya. Terutama pesisir daerah pelabuhan. Alasannya karena
daerah pesisir ini digunakan sebagai pelabuhan dan pusat perdagangan. Penduduk pesisir
terkena pecampuran budaya (akulturasi) dengan pedagang asing yang singgah. Secara
tidak langsung, dalam perdagangan yang dilakukan antara keduanya, mereka menjadi
mengerti kebudayaan perdagangan asing. Pedagang asing ini seperti pedagang dari
Arab, Persia, China, India dan Eropa.
Hindu Budha
lebih dulu masuk di Nusantara daripada Islam. Islam masuk ke Nusantara bisa
dengan mudah diterima masyarakat pada waktu itu dengan berbagai alasan. Situasi
politik dan ekonomi kerajaan Hindu, Sriwijaya dan Majapahit yang mengalami
kemunduran. Akibat dari kemunduran situasi politik, adipati – adipati pesisir
yang melakukan perdagangan dengan pedagang muslim akhirnya menjadi penerima
agama Islam. Kekacauan politik saat itu mengakibatkan kekacauan pada budaya dan
tradisi masyarakat. Para mubaligh – mubalign dan pegadang muslim kemudian
menjalin hubungan lebih dekat melalui pernikahan, akibatnya awal Islam masuk di
Nusantara sudah ada keturunan arab ata india.
Setelah masuknya
Islam di Nusantara, terbuktu budaya dan ajaran Islam mulai berkembang. Hal ini
tidak bisa terlepas dari peran mubaligh – mubaligh dan peran Walisongo di Jawa.
Walisongo dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17. Mereka
tinggal di wilayah penting pantai utara pulau Jawa, yaitu di Surabaya – Gresik –
Lamongan di Jawa Timur, Demak – Kudus – Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di
Jawa Barat.
Walisongo terdiri atas sembilan orang; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga. Kesembilan “wali” yang dalam bahasa Arab artinya “penolong” ini merupakan para intelektual yang terlibat dalam upaya pembaharuan sosial yang pengaruhnya terasa dalam berbagai manifestasi kebudayaan mulai dari kesehatan, bercocok tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintah.
Kiprah Walisongo
sangat mempengaruhi budaya di Nusantara. Mereka melakukan perubahan sosial
secara halus dan bijaksana. Mereka tidak menentang kebiasaan – kebiasaan lama
masyarakat, justru menjadikannya sebagai sarana dalam dakwah mereka. Salah satu
sarana yang mereka gunakan sebagai media dakwah adalah wayang.
Pementasan
wayang konon sudah ada di bumi Nusantara semenjak 1500 tahun yang lalu. Pada
mulanya sebelum Walisongo mengunakan media wayang, bentuk wayang menyerupai
relief atau arca yang ada di Candi Borobudur dan Prambanan. Pementasan wayang
merupakan acara yang amat digemari masyarakat. Sempat terjadi perdebatan di
antara Walisongo dan masyarakat karena adanya unsur – unsur yang bertentangan
dengan aqidah. Selanjutnya para Wali melakukan berbagai penyesuaian agar lebih
sesuai dengan ajaran Islam. Dalam sejarahnya, para Wali berperan besar dalam
pengembangan pewayangan di Indonesia. Sunan Kalijaga dan Raden Patah sangat
berjasa dalam mengembangkan wayang.
Gambar 2. Wayang sebagai media penyebaran Islam
Selain menggunakan wayang, para Wali jga melakukan dakwahnya melalui berbagai bentuk akulturasi budaya lainnya contohnya melalui penciptaan tembang-temang keislaman berbahasa Jawa, gamelan dan lakon islam. Sunan Kalijaga adalah salah satu Walisongo yang tekenal dengan minatnya dalam berdakwah melalui budaya dan kesenian lokal.Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, layang kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Para Walisongo juga membangun pusat-pusat penyebaran agama Islam berupa
pesantren.Dengan adanya pesantren-pesantren ini penyebaran Islam di tanah Jawa
berlangsung dengan cepat.Selanjutnya dari pusat-pusat kegiatan sosial ini
berkembang lahan-lahan pertanian dan perikanan termasuk juga aktivitas politik
dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam.
Proses
akulturasi antara Islam dan Budaya local ini kemudian melahirkan apa yang
dikenal dengan local genius, yaitu kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi
dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai
suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang
membawa pengaruh budayanya. Pada sisi lain local genius memiliki karakteristik
antara lain: mampu bertahan terhadap budaya luar; mempunyai kemampuan
mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur
budaya luar ke dalam budaya asli; dan memiliki kemampuan mengendalikan dan
memberikan arah pada perkembangan budaya selanjutnya.
Sebagai
suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat Indonesia, ajaran
Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks inilah Islam sebagai
agama sekaligus telah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Di sisi lain
budaya-budaya local yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang dengan
kehadiran Islam. Budaya-budaya local ini sebagian terus dikembangkan dengan
mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini kemudian melahirkan “akulturasi
budaya”, antara budaya local dan Islam.
Budaya-budaya
lokal yang kemudian berakulturasi dengan Islam antara lain acara slametan
(3,7,40,100, dan 1000 hari) di kalangan suku Jawa. Tingkeban (nujuh Hari).
Dalam bidang seni, juga dijumpai proses akulturasi seperti dalam kesenian
wayang di Jawa. Wayang merupakan kesenian tradisional suku Jawa yang berasal
dari agama Hindu India. Proses Islamisasi tidak menghapuskan kesenian ini,
melainkan justru memperkayanya, yaitu memberikan warna nilai-nilai Islam didalamnya.tidak hanya dalam bidang seni, tetapi juga di dalam bidang-bidang lain
di dalam masyarakat Jawa. Dengan kata lain kedatangan Islam di nusantara dalam
taraf-taraf tertentu memberikan andil yang cukup besar dalam pengembangan
budaya lokal.
Pada
sisi lain, secara fisik akulturasi budaya yang bersifat material dapat dilihat
misalnya: bentuk masjid Agung Banten yang beratap tumpang, berbatu tebal,
bertiang saka, dan sebagainya benar-benar menunjukkan ciri-ciri arsitektur
local. Sementara esensi Islam terletak pada “ruh” fungsi masjidnya. Demikian
juga dua jenis pintu gerbang bentar dan paduraksa sebagai ambang masuk masjid
di Keraton Kaibon. Namun sebaliknya, “wajah asing” pun tampak sangat jelas di
kompleks Masjid Agung Banten, yakni melalui pendirian bangunan Tiamah dikaitkan
dengan arsitektur buronan Portugis,Lucazs Cardeel, dan pendirian menara
berbentuk mercu suar dihubungkan dengan nama seorang Cina: Cek-ban Cut.
Dalam
perkembangan selanjutnya sebagaimana diceritakan dalam abad Banten, Banten
kemudian berkembang menjadi sebuah kota. Kraton Banten sendiri dilengkapi
dengan struktur-struktur yang mencirikan prototype kraton yang bercorak Islam
di Jawa, sebagaimana di Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta. Ibukota Kerajaan
Banten dan Cirebon kemudian berperan sebagai pusat kegiatan perdagangan
internasional dengan ciri-ciri metropolitan di mana penduduk kota tidak hanya
terdiri dari penduduk setempat, tetapi juga terdapat perkampungan-perkampunan
orang-orang asing, antara lain Pakoja, Pecinan, dan kampung untuk orang Eropa
seperti Inggris, Perancis dan sebagainya.
Dalam bidang
kerukunan, Islam di daerah Banten pada masa lalu tetap memberikan perlakuan
yang sama terhadap umat beragama lain. Para penguasa muslim di Banten misalnya
telah memperlihatkan sikap toleransi yang besar kepada penganut agama lain.
Misalnya dengan mengizinkan pendirian vihara dan gereja di sekitar pemukiman
Cina dan Eropa. Bahkan adanya resimen non-muslim yang ikut mengawal penguasa
Banten. Penghargaan atau perlakuan yang baik tanpa membeda-bedakan latar
belakang agama oleh penguasa dan masyarakat Banten terhadap umat beragama lain
pada masa itu, juga dapat dilisaksikan di kawasan-kawasan lain di nusantara,
terutama dalam aspek perdagangan. Penguasa Islam di berbagai belahan nusantara
telah menjalin hubungan dagang dengan bangsa Cina, India dan lain sebagainya
sekalipun di antara mereka berbeda keyakinan.
Aspek
akulturasi budaya local dengan Islam juga dapat dilihat dalam budaya Sunda
adalah dalam bidang seni vokal yang disebut seni beluk. Dalam seni beluk sering
dibacakan jenis cirita (wawacan) tentang ketauladanan dan sikap keagamaan yang
tinggi dari si tokoh. Seringkali wawacan dari seni beluk ini berasal dari unsur
budaya local pra-Islam kemudian dipadukan dengan unsur Islam seperti pada
wawacan Ugin yang mengisahkan manusia yang memiliki kualitas kepribadian yang
tinggi. Seni beluk kini biasa disajikan pada acara-acara selamatan atau
tasyakuran, misalnya memperingati kelahiran bayi ke-4- hari (cukuran), upacara
selamatan syukuran lainnnya seperti kehamilan ke-7 bulan (nujuh bulan atau
tingkeban), khitanan, selesai panen padi dan peringatan hari-hari besar
nasional.
Akulturasi
Islam dengan budaya-budaya local nusantara sebagaimana yang terjadi di Jawa
didapati juga di daerah-daearah lain di luar Jawa, seperti Sumatera Barat,
Aceh, Makasar, Kalimantan, Sumatera Utara, dan daerah-daerah lainnya. Khusus di
daerah Sumatera Utara, proses akulurasi ini antara lain dapat dilihat dalam
acara-acara seperti upah-upah, tepung tawar, dan Marpangir.
0 komentar :
Posting Komentar